Kisah Mahasiswa Lulus – Sebuah kabar menggemparkan jagat akademik datang dari seorang mahasiswa dari salah satu universitas negeri ternama di Indonesia. Namanya slot deposit qris viral di media sosial. Bukan karena aksi demonstrasi atau prestasi olahraga, tapi karena ia berhasil menuntaskan studi strata satunya hanya dalam waktu tiga tahun dengan sebuah skripsi yang sepenuhnya dibantu oleh kecerdasan buatan (AI).
Terdengar seperti mimpi futuristik yang terlalu dini, tapi inilah kenyataan yang mengguncang batas lama dunia pendidikan. Mahasiswa ini, yang namanya kini disamarkan menjadi “R”, menulis skripsi tentang “Analisis Sentimen Media Sosial terhadap Kebijakan Pemerintah Menggunakan Transformer-Based Language Model”. Ya, bukan sekadar analisis biasa. Ia menggunakan teknologi GPT dan BERT untuk merangkai, mengolah, bahkan mempresentasikan data dalam bentuk visualisasi otomatis.
Banyak yang menyebutnya jenius. Tak sedikit pula yang menyebutnya pemalas. Tapi satu yang pasti: ia tak bisa diabaikan.
Beberapa Inovasi Kisah Mahasiswa Lulus
Tak butuh waktu lama untuk respons akademisi dan netizen bermunculan. Di satu sisi, ada gelombang pujian. Dosen-dosen muda dan penggiat teknologi menyebut skripsi tersebut sebagai “angin segar bagi dunia riset”. Mereka memuji efisiensi waktu, keakuratan data, dan pendekatan yang visioner.
Namun di sisi yang lebih bising, datang kritik tajam dari para akademisi konservatif. Mereka menyebut penggunaan AI dalam penyusunan skripsi sebagai bentuk kemalasan intelektual. “Apa artinya lulus cepat jika seluruh proses kreatif diambil alih oleh mesin?” ujar seorang profesor di sebuah forum diskusi daring.
Baca Juga Berita Terbaik Lainnya Hanya Di eder-fascination.com
Sebagian lagi mempertanyakan otentisitas dan orisinalitas dari skripsi tersebut. Apakah R benar-benar menulis ide sendiri, atau hanya menjadi operator dari kecanggihan teknologi? Lebih jauh lagi, muncul pertanyaan menohok: apakah skripsi AI bisa dibandingkan dengan skripsi manual?
Kecerdasan Buatan: Alat atau Dalih?
Perdebatan makin panas ketika diketahui bahwa hampir 80% proses penulisan skripsi dilakukan dengan bantuan AI, termasuk perumusan judul, kerangka teori, hingga analisis data. R memang tidak melanggar aturan apa pun karena tidak ada regulasi jelas mengenai batasan penggunaan AI dalam skripsi.
Namun, netizen tidak puas. Beberapa menyebut bahwa lulus dengan “mesin” bukanlah lulus dengan “otak”. Banyak komentar di media sosial menyayangkan bagaimana mahasiswa masa kini seolah menjadikan AI sebagai jalan pintas, bukan alat bantu. Lebih provokatif lagi, ada yang menyebut fenomena ini sebagai bentuk kematian dari idealisme akademik.
Namun R tetap santai. Dalam sebuah wawancara, ia mengatakan, “Saya tidak malas. Saya justru belajar bagaimana menggunakan alat secara maksimal. Bukankah itu inti dari pendidikan modern?”
Kampus Diam, Mahasiswa Bergerak
Yang lebih mengejutkan adalah respons dari kampus. Alih-alih mengecam, pihak universitas justru memberikan penghargaan kepada R sebagai “Inovator Muda”. Hal ini makin menyulut api kontroversi. Mahasiswa lain menyindir bahwa kampus sekarang lebih menghargai kecepatan dan “gimmick” dibanding proses dan ketekunan.
“Lalu bagaimana dengan kami yang berdarah-darah menulis skripsi dengan observasi lapangan selama berbulan-bulan?” tulis seorang mahasiswa di Twitter (sekarang X). Gelombang kecemburuan akademik pun menyebar. Tak sedikit yang mengklaim bahwa ini adalah awal dari ketidakadilan baru dalam dunia pendidikan.
Namun di tengah semua itu, muncul juga gelombang mahasiswa yang terinspirasi. Mereka mulai mengikuti jejak R. Forum-forum diskusi tentang penggunaan AI dalam skripsi melonjak tajam. Workshop tentang “Etika dan Teknik Menulis Skripsi dengan AI” mulai menjamur di berbagai universitas.
Realita Baru: Standar Lama Digugat
Fenomena R bukan sekadar cerita tentang mahasiswa cepat lulus. Ini adalah momen pergeseran paradigma besar dalam dunia akademik. Bagi sebagian orang, ini ancaman. Bagi yang lain, ini harapan.
Tapi satu hal jelas: standar lama kini sedang digugat. Mereka yang bertahan dengan metode konvensional mulai merasa ketinggalan, sementara generasi baru mulai menancapkan jejak mereka dengan bantuan algoritma. Apakah ini bentuk evolusi? Atau justru dekadensi?
Kontroversi ini belum usai. Dan bisa jadi, ini baru awal dari revolusi akademik yang lebih besar.